Tafsir Ayat
Kepemimpinan Dalam Al-Quran Tinjauan
Tafsir Maudhu’i
Oleh: Amalia
Safitri
Ilmu Pendidikan
Islam
Abstak
Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan tentang tafsir ayat
kepemimpinan dalam Al-Quran tinjauan tafsir maudhui. Metode yang digunakan
dalam penulisan ini ialah hermeneutika sebagai
sistem penafsiran (system of interpretation). Dalam hal ini hermeneutika
sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara
personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam suatu ayat Al-Quran.
Hasil penulisan ini ialah terdapatnya beberapa ayat-ayat yang membahas tentang
kepemimpinan yang terdapat dalam Al-Quran yang di tafsirkan secara maudhui atau
secara tematik. Kebanyakan pendapat dari para mufassir menafsirkannya secara
kontekstual dan dilihat dari asbabun nuzulnya ayat tersebut dan kebanyakan ayat
Madaniah yang bisa dikatakan bahwa masalah kepemimpinan atau istilah
kepemimpinan turun pada saat Nabi Muhammad saw sudah hijrah ke Madinah.
Latar Belakang
Sejak zaman Nabi Adam hingga zaman sekarang ini seorang pemimpin
sangatlah diperlukan. Karena seorang pemimpin adalah suatu penggerak yang dapat
membawa suatu perubahan menjadi yang lebih baik. Sosok seorang pemimpin yang
bijak sangatlah diperlukan di setiap kehidupan.
Di setiap kita berada dan dilingkungan manapun pasti adanya suatu
pemimpin yang berkuasa di tempat lingkungan tersebut. Yang dimulai dari
lingkungan keluarga yang dikepalai oleh seorang Ayah, di lingkungan masyarakat
yang dipimpin oleh ketua rukun tangga (RT)
atau rukun warga (RW) dan lain-lain, di lingkungan sekolah yang dipimpin
oleh kepala sekolah hingga di organisasi ataupun klub sudah pasti memiliki
seorang pemimpin yang memegang kekuasaan secara penuh. Biasanya seorang
pemimpin yang sedang memegang kekuasaan tersebut memiliki kepercayaan yang
penuh dan sangat disegani oleh anggota-anggotanya.
Seorang pemimpin adalah seseorang yang memiliki sifat yang lebih
dari anggota-anggotanya dan biasanya memiliki ciri yang khas dalam
kepemimpinannya tersebut. Dalam hal ini sangat berkaitan dengan bagaimana cara
seorang pemimpin tersebut memimpin suatu oraganisasi baik berupa organisasi
formal maupun non formal. Seorang pemimpin harus memiliki power atau kekuatan di dalam suatu organisasi
sehingga ia dapat memegang kekuasaan.
Pemimpin merupakan faktor penentu dalam kesuksesan dan kegagalan
suatu organisasi. Baik di organisasi formal maupun non formal, kualitas seorang
pemimpin sangat menentukan keberhasilan organisasi yang ia pimpin. Sebab
pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang mampu mengelola organisasi, dapat
mempengaruhi secara konstruktif orang lain dan menunjukkan jalan serta prilaku
benar yang harus dikerjakan bersama-sama melalui kerja sama.[1]
Pemimpin memiliki banyak istilah ataupun memiliki banyak penyebutan
tetapi memiliki makna dan arti yang sama yaitu seorang pemimpin. Dalam hal ini
istilah seorang pemipin biasa disebut sebagai kepala rumah tangga yang memimpin
di tingkat lingkungan keluarga, kepala sekolah yang memimpin di lingkungan
tingkat sekolah, ketua yang memipin di tingkat organisasi lingkungan
masyarakat, manager yang memimpin di tingkat usaha dan banyak istilah lain.
Dalam pernyataan di atas apabila istilah kepemimpinan dikaitkan
dengan studi Al-Quran. Istilah kepemimpinan sangat banyak di antaranya ada
khalifah, ulil amri, hukum, amr, qodho dan masih banyak lagi. Di dalam AL-Quran
menjelaskan istilah kepemimpinan yang biasanya dapat diartikan secara
kontekstual. Banyak para mufassir yang menerangkan tentang ayat-ayat
kepemimpinan di dalam Al-Quran melalui tafsir-tafsir.
Dengan beragamnya istilah kepemimpinan tersebut dalam penulisan ini
akan membahas tentang ayat-ayat tentang kepemimpinan tinjauan tafsir maudhui.
Dalam penulisan ini ada beberapa ayat Al-Quran yang membahas tentang
kepemimpinan yang disertai dengan tafsir dan dari gaya bahasanya.
Pembahasan
Tafsir Maudhui
Kata maudhu’i berasal dari bahasa
arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim maf’ul dari
fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan,
menjadikan, mendustakan dan membuat-buat. Arti
maudhu’i yang dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul atau topik atu
sektor, sehingga tafsir maudhu’i berarti penjelasan ayat-ayat Alquran yang
mengenai satu judul/topik/sektor pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhu’i yang
berarti yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhu’ yang
berarti hadis yang didustakan/dipalsukan/dibuat-buat. Adapun pengertian
tafsir maudhu’i (tematik) ialah mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai
tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul/topik/sektor tertentu dan
menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan
sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan
penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat
lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.[2]
Kepemimpinan
Istilah kepemimpinan menurut bahasa ialah leadership yang berasal dari kata leader.[3]
Sedangkan arti kepemimpinan menurut istilah ialah proses untuk mempengaruhi
orang lain, baik di dalam organisasi maupun di luar organisasi untuk mencapai
tujuan yang diinginkan dalam suatu situasi dan kondisi tertentu.[4]
Kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas
yang berkaitan dengan tugas dari anggota kelompok. Dalam memahami tentang
kepemimpinan perlu digunakannya pendekatan-pendekatan seperti pendekatan sifat,
pendekatan tingkah laku dan pendekatan kontingensi. Pengertian kepemimpinan
juga dapat diartikan dalam beberapa hal seperti hal melibatkan orang lain,
melibatkan distribusi kekuasaan yang tidak merata antara pemimpin dan anggota
kelompok, kepemimpinan juga dapat menggerakkan kemampuan dengan menggunakan
berbagai bentuk kekuasaan untuk mempengaruhi tingkah laku bawahan dan
kepemimpinan juga akan menyangkut pada nilai.
Ayat-Ayat Al-Quran Tentang Kepemimpinan
a.
Khalifah,
Dalm Al-Quran yang temasuk kedalam cakupan kepemimpinan adapun
surat yang membahas tentang khalifah ialah di dalam QS. Al-Baqarah ayat 30, yang berbunyi :
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz (
(#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB ßÅ¡øÿã $pkÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 (
tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
30. Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Menurut tafsir Sayyid
Quthb dalam ayat ini memaparkan parade kehidupan (maukabul hayat), bahkan
parade alam wujud secara keseluruhan. Kemudian berbicara tentang bumi dalam
kerangka pemaparan nikmat-nikmat Allah kepada manusia seraya menegaskan bahwa
Allah menciptakan segala yang ada di dalamnya untuk mereka. Di dalam suasana
ini dipaparkan kisah pengangkatan Adam sebagai khalifah di muka bumi dan
penyerahan segala kuncinya kepadanya,
dengan suatu janji dan syarat dari Allah di samping pembekalan berbagai pengetahuan
yang bisa dipergunakan untuk mengelolah khilafah tersebut. Sebagaimana juga
menyampaikan pendahuluan pembicaraan tentang pengangkatan Bani Israil sebagai
khalifah di bumi berdasarkan janji dari Allah kemudian pelucutan mereka dari
khalifah tersebut dan penyerahan kendalinya kepada umat Islam yang menepati
janji Allah.[5]
Dari ayat ini menjelaskan bahwa manusia secara
nonformal adalah kedudukannya ialah sebagai khalifah. Perkataan khalifah dalam
ayat ini ialah tidak hanya ditunjukkan kepada para khalifah sesudah Nabi Adam
a.s. yang disebut sebagai manusia dengan tugas untuk memakmurkan bumi yang
meliputi tugas menyeru orang lain berbuat amar ma’ruf dan mencegah perbuatan
mungkar.[6]
Kalsifikasi ayat diatas ialah surat ini termasuk dalam surat
Madaniyah karena surat ini diturunkan di Kota Madinah. Adapun dari segi tema
dan gaya bahasanya menjelaskan masalah perundang-undangan terlihat pada Allah
membicarakan tentang kekuasaan atau pemerintahan. Adanya suku kata dan ayatnya
panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan
tujuan dan syariatnya telihat bahwa Allah langsung berbicara tentang kahalifah
atau pemimpin.
Adapun di dalam surat lain ialah di dalam QS. As-Shad ayat 26, yang
berbunyi :
ß¼ãr#y»t $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ ZpxÿÎ=yz Îû ÇÚöF{$# Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ wur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$# y7¯=ÅÒãsù `tã È@Î6y «!$# 4
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbq=ÅÒt `tã È@Î6y «!$# öNßgs9 Ò>#xtã 7Ïx© $yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqt É>$|¡Ïtø:$# ÇËÏÈ
26. Hai Daud, Sesungguhnya kami
menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang
yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.
Dalam ayat ini menjelaskan Allah SWT menjelaskan
pengangkatan Nabi Daud sebagai penguasa
dan pengangkatannya sebagai penegak hukum pemrintahan dan
penguasa di kalangan
rakyatnya. Allah SWT
menjelaskan dan menyatakan bahwa dia mengangat Daud sebagai penguasa yang
memerintah kaumnya. Pengertian penguasa diungkapkan dengan
khalifah yang artinya pengganti
adalah sebagai isyarat agar Daud dalam menjalankan kekuasaannya selalu dihiasi
dengan sopan santun yang baik yang diridohai Allah dan dalam melaksanakan peraturan hendaknya
berpedoman kepada hidayah Allah. Dengan demikian sifat-sifat khalifah Allah
tergambar pada diri pribadinya. Maka rakyatnyapun tentu akan mentaati segala
peraturannya dan tingkah lakunya yang patut diteladani.[7]
Dalam ayat ini juga terdapat isyarat yang menunjukkan
pengangkatan Daud sebagai Rosul dan tugas apa yang seharusnya dilakukan oleh
seseorang Rosul serta mengandung pelajaran bagi para pemimpin dalam
melaksanakan kepemimpinannya.
b.
Ulil Amri
Dalam Al-Quran juga terdapat cakupan kepemimpinan diantaranya ialah
dari kata ulil amri yang terdapat dalam QS. An-Nisa ayat 59,
yang berbunyi :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB (
bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4
y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
59. Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Asbabun
nuzul ayat ini dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat ini
berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais ketika diutus oleh Nabi SAW
memimpin suatu perang.[8] Menurut pendapat Al-Hafidh Ibnu Hajar ialah
bahwa maksud dari kisah Abdullah bi Hudzafah, munasabah disangkut-pautkan
dengan alasan turunnya ayat ini, karena dalam kisah itu dituliskan adanya
perbatasan antara taat pada perintah (pimpinan) dan menolak perintah untuk
terjun ke dalam api. Disaat
itu mereka perlu akan petunjuk
apa yang harus mereka lakukan. Ayat ini turun memberikan petunjuk kepada mereka
apabila berbantahan hendaknya kembali kepada Allah dan Rosul-Nya.[9]
Kalsifikasi
dalam surat ini ialah termasuk kedalam surat Madaniyah karena diturunkan di
Kota Madinah dan suku kata ayatnya panjang-panjang, diawali dengan kalimat “hai
orang-orang beriman” dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta
menjelaskan tujuan dan syariatnya terlihat sangat jelas bahwa Allah
memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk mentaati Allah, Rosul dan Ulil
Amri.
Adapaun di dalam surat lain ialah di dalam QS. An-Nisa ayat
83, yang berbunyi :
#sÎ)ur öNèduä!%y` ÖøBr& z`ÏiB Ç`øBF{$# Írr& Å$öqyø9$# (#qãã#sr& ¾ÏmÎ/ (
öqs9ur çnru n<Î) ÉAqߧ9$# #n<Î)ur Í<'ré& ÌøBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o öNåk÷]ÏB 3
wöqs9ur ã@ôÒsù «!$# öNà6øn=tã ¼çmçGuH÷quur ÞOçF÷èt6¨?]w z`»sÜø¤±9$# wÎ) WxÎ=s% ÇÑÌÈ
83. Dan apabila
datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka
lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri
di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah Karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali
sebahagian kecil saja (di antaramu).
Asbabun nuzul ayat
ini ialah bahwa dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Nabi ‘uzalah
(menjauhi) isteri-isterinya, Umar bin Khattab masuk ke dalam masjid di saat
orang-orang sedang kebingungan sambil bercerita bahwa Rosulullah telah
menceraikan isteri-isterinya. Umar berdiri di pintu masjid dan berteriak:
“Rosulullah tidak menceraikan isterinya dan aku telah menelitinya”, maka
turunlah ayat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut untuk tidak menyiarkan
berita sebelum diselidiki.[10]
Dalam ayat ini menjelaskan bahwa setiap
muslim wajib memimpin dalam suatu negara. Dan kata ulil amri disini menurut Mufassirin yang lain maksudnya ialah:
kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul
dan ulil Amri, tentulah Rasul dan ulil amri yang ahli dapat menetapkan
kesimpulan (istimbat) dari berita itu.
Surat ini
termasuk kedalam surat Madaniyah karena diturunkan di Kota Madinah dan dari
segi tema dan gaya bahasa suku kata dan ayatnya panjang dan dengan gaya bahasa
yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan syariatnya.
c.
Hukum
Dalam Al-Quran juga terdapat cakupan kepemimpinan diantaranya ialah
dari kata hakama atau hukum yang terdapat dalam QS. Al-Qashas ayat 70, yang berbunyi :
uqèdur ª!$#
Iw
tm»s9Î) wÎ)
uqèd
( çms9
ßôJptø:$#
Îû 4n<rW{$# ÍotÅzFy$#ur
( ã&s!ur
ãNõ3çtø:$#
Ïmøs9Î)ur
tbqãèy_öè? ÇÐÉÈ
70. Dan
dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah
segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan Hanya
kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Menurut tafsir Universitas Islam Indonesia, pada ayat ini Allah SWT
menerangkan bahwa Dialah yang Maha Esa, tidak ada yang berhak disembah
melainkan Dia. Dialah yang mengetahui segala sesuatu dan Dia pula yang berkuasa
atasnya. Dialah yang dipuji segala perbuatan-Nya,
baik di dunia maupun di akhirat nanti, karena Dialah yang memberikan segala
nikmat yang kita peroleh baik sekarang maupun dihari mendatang. Segala
peraturan dan ketentuan yang telah digariskan-Nya harus berlaku dan
terlaksana.Tidak mungkin diganggu gugat karena Dia berada diatas segala
makhluk-Nya, Hakim Yang Paling Adil yang menentukan dan menetapkan yang benar
itu benar yang salah itu yang salah.[11]
Kata “Al-hukmu”disini berarti “penentuan” dalam kaitannya dengan kepemimpinan
ialah bahwa setiap pemimpin ialah sebagai penentu dari setiap keputusan dan
setiap pemimpin dalam mengambil keputusan yang sudah di tentukan harus dengan
sikap adil dan harus menetapkan dengan sebenar-benarnya, apabila sesuatu benar
maka katakan benar dan apabila sesuatu salah maka katakan salah.
Dalam surat ini terasuk kedalam surat Makkiyah
karena ayat ini diturunkan di kota Mekkah dan berasal dari segi ciri tema dan
gaya bahasanya menjelaskan tentang dakwah
kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah.
d.
Amr
Dalam Al-Quran juga
terdapat cakupan kepemimpinan diantaranya ialah dari kata “amr” yang terdapat
dalam QS. Al-Baqarah ayat 27, yang berbunyi :
tûïÏ%©!$# tbqàÒà)Zt yôgtã «!$# .`ÏB Ï÷èt/ ¾ÏmÉ)»sWÏB tbqãèsÜø)tur !$tB ttBr& ª!$# ÿ¾ÏmÎ/ br& @|¹qã crßÅ¡øÿãur Îû ÇÚöF{$# 4
Í´¯»s9'ré& ãNèd crçÅ£»yø9$# ÇËÐÈ
27. (yaitu) orang-orang yang
melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa
yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat
kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.
Menurut tafsir fi
zhilalil Qur’an, dalam konteks tersebut diungkapkan disini secara global,
karena masih dalam kerangka mengidentifikasi karakter dan menggambarkan
contoh-contoh. Bukan dalam kerangka mencatat peristiwa atau rincian kejadian.
Gambaran disini diperlukan secara umum. Jadi setiap perjanjian antara Allah dan
tipe manusia ini telah dilanggar setiap hal yang diperintahkan Allah untuk
menyambung sesama mereka telah diputuskan dan setiap kerusakan yang terjadi di
muka bumi ini bersumber dari ulah mereka. Sesungguhnya hubungan tipe manusia
ini dengan Allah telah terputus dan bahwa fitra mereka yang menyimpang itu
tidak bisa lagi menepati perjanjian, tidak bisa lagi berpegang teguh dengan
tali yang kuat dan tidak bisa lagi menjauhi kerusakan. Sesungguhnya mereka
ibarat buah muda yang terlepas dari pohin kehidupan. Oleh sebab itu kesesatan
mereka terjadi karena permisalan yang justru memberikan petunjuk kepada
orang-orang mu’min. Kesesatan mereka itu terjadi dengan satu sebab yang justru
membuat orang-orang yang bertakwa mendapat petunjuk.[12]
Kata “amara” di sini
berarti “diperintahkan” keterkaitan ayat ini dengan konteks kepemimpinan ialah
bahwa setiap masyarakat harus mentaati semua ketentuan dan perintah dari
seorang pemimpin. Dan setiap pemimpin harus selalu menepati janji-janji yang
sudah diikrarkan dirinya atau seorang pemimpin tersebut.
Dalam ayat ini termasuk
ke dalam surat Madaniyah karena di turunkan di kota Madinah dan dari segi
karakteristik umum suratnya berisi keawajiban atau sanksi hukum, dan setiap
surat yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik. Dari segi tema dan gaya
bahasanya menyikapi perilaku orang munafik, menganalisis kejiwaannya, membuka
kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
e.
Qodho
Dalam Al-Quran juga terdapat cakupan kepemimpinan diantaranya ialah
dari kata “amr” yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 117, yang berbunyi :
ßìÏt/
ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
( #sÎ)ur #Ó|Ós%
#XöDr& $yJ¯RÎ*sù ãAqà)t ¼ã&s! `ä. ãbqä3usù ÇÊÊÐÈ
117. Allah
Pencipta langit dan bumi, dan bila dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu,
Maka (cukuplah) dia Hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu
jadilah ia.
Menurut tafsir
Fi Zhilalil Quran, ialah suatu kehendak yang terjadi dengan cara yang tidak
dapat diketahui oleh pengetahuan manusia, karena hal tersebut di luar kemampuan
pengetahuan manusia. Karena itu adalah sia-sia mengerahkan kemampuan untuk
mencapai rahasia ini dan menempuh jalan kesesatan tanpa petunjuk jalan. Setelah
memaparkan ucapan Ahli Kitab yang mendakwakan Allah mempunyai anak lalu
mengoreksi ucapan ini dan membantahnya, Al-Quran menyusuli pula dengan ucapan
kaum musyrikin dalam masalah yang sama sehingga menggambarkan kesamaan antara
konsepsi kaum musyrikin dan konsepsi Ahli Kitab.[13]
Kata “qadha” disini
berarti “berkehendak” dalam konteks kepemimpinan ialah bahwa setiap pemimpi
memiliki kehendak untuk mengatur rakyatnya dan setiap kehendak tersebut wajib
ditaati oleh setiap rakyatnya.
Dalam ayat ini termasuk
kedalam surat Madaniya karena di turunkan di kota Madinah dan dari segi tema
dan gaya bahasa ialah termasuk seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi
dan Nasrani dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan
mereka terhadap kitab-kitab Allah permusuhan mereka terhadap kebenaran dan
perselisihan mereka setelah keterangan datang kepada mereka karena rasa dengki
di antara sesama mereka.
Kesimpulan
kesimpulan dari penulisan ini, kepemimpinan ialah proses
mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari anggota
kelompok. Dalam memahami tentang kepemimpinan perlu digunakannya
pendekatan-pendekatan seperti pendekatan sifat, pendekatan tingkah laku dan
pendekatan kontingensi.
Ayat-ayat yang terkait dengan kepemimpinan diantaranya ialah kata
khalifah, amr, ulil amri, qodho dan hukum. Hasil penulisan ini ialah
terdapatnya beberapa ayat-ayat yang membahas tentang kepemimpinan yang terdapat
dalam Al-Quran yang di tafsirkan secara maudhui atau secara tematik. Kebanyakan
pendapat dari para mufassir menafsirkannya secara kontekstual dan dilihat dari
asbabun nuzulnya ayat tersebut dan kebanyakan ayat Madaniah yang bisa dikatakan
bahwa masalah kepemimpinan atau istilah kepemimpinan turun pada saat Nabi
Muhammad saw sudah hijrah ke Madinah.
Saran
Saran penulis ialah bahwa ketika kita mencoba untuk mengartikan
ayat-ayat Al-Quran. Diharapkan memaknai secara kontekstual tidak sekedar
secaratekstual saja dan harus dilihat dari asbabun nuzulnya dari setiap
ayat-ayat tersebut.
[1] Kartini
Kartono,”Pemimpin dan Kepemimpinan”, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1994,
hal. V.
[3] Prof.
Dr. Veithzal Rivai, M.B.A, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 9.
[4]Prof. Dr.
Veithzal Rivai, M.B.A, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 36.
[5] Sayyid
Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Quran Di Bawah Naungan Al-Quran,
Bandung:Robbani Press, 2003, hal.105
[6]Prof. Dr.
Veithzal Rivai, M.B.A, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 6.
[7]Universitas
Islam Indonesia,”Al-Quran dan Tafsirnya”, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti
Wakaf,1990.
[8]Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan lainnya yang bersumber dari Ibnu Abbas denngan riwayat
ringkas.
[9] K.H.Q.
Saleh, H.A.A. Dahlan, Prof. DR. H.M.D. dahlan,”Asbabun nuzul Latar Belakang
Sejarah Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran”, Bandung:CV. DIPONOROGO, 1995, hal.
139.
[10]Prof.
Dr. Veithzal Rivai, M.B.A,“Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi”,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004,
hal.144-145.
[11]Universitas
Islam Indonesia,”Al-Quran dan Tafsirnya”, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti
Wakaf,1990, hal 377.
[12] Sayyid
Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Quran Di Bawah Naungan Al-Quran,
Bandung:Robbani Press, 2003, hal. 94.
[13]Ibid,
hal 231.
Komentar
Posting Komentar